Minangkabau atau yang
biasa disingkat Minang adalah kelompok etnis Nusantara yang berbahasa dan
menjunjung adat
Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat,
separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat
Jambi, pantai barat
Sumatera Utara,
barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam
percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang,
merujuk kepada nama ibu kota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun,
masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak,
yang bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri.
Menurut A.A. Navis,
Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem
monarki, serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem
kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal,
walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam, sedangkan Thomas Stamford Raffles, setelah melakukan ekspedisi ke
pedalaman Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan Pagaruyung, menyatakan bahwa Minangkabau adalah
sumber kekuatan dan asal bangsa
Melayu, yang kemudian penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.
Saat ini
masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia.
Selain itu, etnis ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak
masa pra-Hindu dengan adanya
kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip
adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti
adat berlandaskan ajaran Islam/hukum syari'ah.
Orang
Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional dan
intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan
Sriwijaya yang
gemar berdagang dan dinamis. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota
masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim
di kota-kota besar, seperti Jakarta,
Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar
wilayah Indonesia, etnis Minang banyak terdapat di Kuala Lumpur, Seremban, Singapura, Jeddah, Sydney, dan Melbourne.
Masyarakat
Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang, dan
sangat digemari di Indonesia
bahkan sampai mancanegara.
Nama
Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu
dikaitkan dengan suatu legenda
khas Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo
tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan
sebagai Majapahit) yang
datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran,
masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut
menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan
masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam
pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah
induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk
hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu
menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang
berasal dari ucapan "Manang kabau" (artinya menang kerbau).
Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa
kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman (Pariaman)
menggunakan nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga
digunakan untuk menyebut sebuah nagari,
yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar,
provinsi Sumatera
Barat.
Dalam catatan
sejarah kerajaan Majapahit,
Nagarakretagama
bertarikh 1365, juga telah menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah
satu dari negeri Melayu yang
ditaklukannya. Begitu juga dalam Tawarikh Ming tahun 1405, terdapat nama kerajaan Mi-nang-ge-bu
dari enam kerajaan yang mengirimkan utusan menghadap kepada Kaisar Yongle di Nanjing. Di
sisi lain, nama "Minang" (kerajaan Minanga)
itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 dan berbahasa Sanskerta.
Dalam prasasti itu
dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang
bernama Dapunta
Hyang bertolak dari "Minānga" ....[19] Beberapa
ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4
(...minānga) dan ke-5 (tāmvan....) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan
dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang
dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar,
yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Namun pendapat
ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa "tāmvan" tidak ada
hubungannya dengan "temu", karena kata temu dan muara
juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya. Oleh
karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang
itu sendiri.
Asal usul
Dari tambo yang diterima
secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari
keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun
secara sistematis dan lebih kepada legenda berbanding fakta serta cendrung
kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak.[5] Namun
demikian kisah tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin
yang juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk
meminta Sang Sapurba salah
seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut untuk menjadi raja mereka.
Masyarakat
Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang
melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar
2.500–2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari
arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar
sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman
orang Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam
konfederasi yang
dikenal dengan nama luhak,
yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri
dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan
Luhak
Tanah Data. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda,
kawasan luhak tersebut menjadi daerah teritorial pemerintahan yang
disebut afdeling,
dikepalai oleh seorang residen yang oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan
nama Tuan Luhak. Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan
penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta
membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat
Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau.
Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan.
Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo terbagi atas Rantau
di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan
pesisir barat).
Pada awalnya
penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad
ke-19, penyebutan Minang dan Melayu
mulai dibedakan melihat budaya matrilineal yang
tetap bertahan berbanding patrilineal
yang dianut oleh masyarakat Melayu umumnya. Kemudian pengelompokan ini terus
berlangsung demi kepentingan sensus
penduduk maupun politik.
Agama
Masyarakat
Minang saat ini merupakan pemeluk agama Islam, jika ada masyarakatnya keluar dari
agama Islam (murtad), secara langsung yang bersangkutan juga dianggap
keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya disebut "dibuang sepanjang
adat". Agama Islam diperkirakan masuk
melalui kawasan pesisir timur, walaupun ada anggapan dari pesisir barat,
terutama pada kawasan Pariaman,
namun kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri yang berada pada
pesisir timur juga telah menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau, dan Sungai Kampar
maupun Batang
Kuantan berhulu pada kawasan pedalaman Minangkabau. Sebagaimana pepatah
yang ada di masyarakat, Adat manurun, Syarak mandaki (Adat diturunkan
dari pedalaman ke pesisir, sementara agama (Islam) datang dari pesisir ke
pedalaman), serta hal ini juga dikaitkan dengan penyebutan Orang Siak
merujuk kepada orang-orang yang ahli dan tekun dalam agama Islam, masih tetap
digunakan di dataran tinggi Minangkabau.
Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat ini
dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha terutama pada masa kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, sampai
pada masa-masa pemerintahan Adityawarman
dan anaknya Ananggawarman.
Kemudian perubahan struktur kerajaan dengan munculnya Kerajaan Pagaruyung yang telah mengadopsi Islam dalam sistem pemerintahannya, walau
sampai abad ke-16, Suma
Oriental masih menyebutkan dari tiga raja Minangkabau
hanya satu yang telah memeluk Islam.
Kedatangan Haji
Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari Mekkah sekitar tahun 1803, memainkan
peranan penting dalam penegakan hukum
Islam di pedalaman Minangkabau. Walau pada saat bersamaan muncul tantangan dari
masyarakat setempat yang masih terbiasa dalam tradisi adat, dan puncak dari
konflik ini muncul Perang
Padri sebelum akhirnya muncul kesadaran bersama bahwa adat
berasaskan Al-Qur'an.
Adat dan budaya
Menurut tambo, sistem adat
Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara, Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Datuk
Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis, sedangkan
Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang egaliter. Dalam
perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling
isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.
Dalam
masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan
budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik
mamak, yang dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan. Ketiganya
saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam
masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat
dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
Matrilineal
Matrilineal
merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat
Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai
pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan Samande
(se-ibu), sedangkan ayah mereka disebut
oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
Kaum perempuan
di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang,
memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan
yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman
atau saudara dari pihak ibu), dan penghulu (kepala
suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan
sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang (pilar utama rumah).[30] Walau
kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum
lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas
atau memiliki legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.
Bahasa
Bahasa
Minangkabau termasuk salah satu anak cabang rumpun bahasa Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat
mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada
yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek
Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya,
sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang
berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan
bahasa Proto-Melayu. Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu
sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya
masing-masing.
Pengaruh bahasa
lain yang diserap ke dalam bahasa
Minang umumnya dari Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian
kosakata Sanskerta dan Tamil yang dijumpai pada beberapa prasasti di
Minangkabau telah ditulis menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya Islam yang diterima secara luas juga
mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawi dalam
penulisan sebelum berganti dengan Alfabet Latin.
Meskipun
memiliki bahasa sendiri, orang Minang juga menggunakan bahasa Melayu dan
kemudian bahasa
Indonesia secara meluas. Historiografi tradisional orang Minang, Tambo Minangkabau,
ditulis dalam bahasa Melayu dan merupakan bagian sastra Melayu atau sastra Indonesia
lama. Suku Minangkabau menolak penggunaan bahasa Minangkabau untuk keperluan
pengajaran di sekolah-sekolah.[35] Bahasa
Melayu yang dipengaruhi baik secara tata bahasa maupun kosakata oleh bahasa Arab telah
digunakan untuk pengajaran agama Islam. Pidato di sekolah agama juga
menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-20 sekolah Melayu yang didirikan
pemerintah Hindia
Belanda di wilayah Minangkabau mengajarkan ragam bahasa Melayu Riau,
yang dianggap sebagai bahasa standar dan juga digunakan di wilayah Johor,
Malaysia. Namun kenyataannya bahasa yang digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda
ini adalah ragam yang terpengaruh oleh bahasa Minangkabau.
Guru-guru dan
penulis Minangkabau berperan penting dalam pembinaan bahasa Melayu Tinggi.
Banyak guru-guru bahasa Melayu berasal dari Minangkabau, dan sekolah di Bukittinggi
merupakan salah satu pusat pembentukan bahasa Melayu formal. Dalam masa
diterimanya bahasa Melayu Balai
Pustaka, orang-orang Minangkabau menjadi percaya bahwa mereka adalah
penjaga kemurnian bahasa yang kemudian menjadi bahasa Indonesia itu.
Kesenian
Masyarakat
Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian
yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara
tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan
merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun
ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring
merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang
piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang
dimainkan oleh talempong
dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau
merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang
sejak lama. Dewasa ini Silek tidak hanya diajarkan di Minangkabau saja, namun
juga telah menyebar ke seluruh Kepulauan Melayu
bahkan hingga ke Eropa dan Amerika. Selain itu, adapula tarian yang bercampur
dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi dengan
nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam
randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario.
Selain itu,
Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Terdapat tiga genre seni
berkata-kata, yaitu pasambahan
(persembahan), indang, dan salawat
dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan
kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori,
metafora, dan aforisme. Dalam
seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga
diri, tanpa menggunakan senjata dan
kontak fisik.
kontak fisik.
Olahraga
Pacuan kuda
merupakan olahraga berkuda
yang telah lama ada di nagari-nagari Minang, dan sampai saat ini masih
diselenggarakan oleh masyarakatnya, serta menjadi perlombaan tahunan yang
dilaksanakan pada kawasan yang memiliki lapangan pacuan kuda. Beberapa
pertandingan tradisional lainnya yang masih dilestarikan dan menjadi hiburan
bagi masyarakat Minang antara lain lomba pacu jawi dan pacu
itik. sipak rago,atau nama lainnya sepak takraw adalah olah raga masyarakat
tradisional minang yang dimainkan sedikitnya lima atau empat orang, bolanya
terbuat dari anyaman rotan, bola ditendang dari setinggi pinggang sampai
setinggi kepala oleh sekelompok orang yang berdiri melingkar, dalam hikayat dan
novel serta beberapa film seperti film sengsara membawa nikmat ada menyinggung
masalah olahraga sipak rago ini.
Rumah adat
Rumah adat
Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas
sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun.] Rumah adat
ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan
belakang. Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti bentuk rumah
panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa
disebut gonjong dan
dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng. Di halaman depan Rumah Gadang,
biasanya didirikan dua sampai enam buah Rangkiang yang
digunakan sebagai tempat penyimpanan padi
milik keluarga yang menghuni Rumah Gadang tersebut.
Hanya kaum
perempuan bersama suaminya beserta anak-anak yang menjadi penghuni Rumah
Gadang, sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah
istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum menikah, biasanya tidur di surau. Surau biasanya dibangun tidak jauh dari
komplek Rumah Gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga
berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah.
Dalam budaya
Minangkabau, tidak semua kawasan boleh didirikan Rumah Gadang. Hanya
pada kawasan yang telah berstatus nagari
saja rumah adat ini boleh ditegakkan. Oleh karenanya di beberapa daerah rantau
Minangkabau seperti Riau, Jambi, Negeri Sembilan, pesisir barat Sumatera Utara
dan Aceh, tidak dijumpai rumah adat bergonjong.
Perkawinan
Dalam adat
budaya Minangkabau, perkawinan
merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan
masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru
pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk
masuk lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sementara bagi keluarga
pihak istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas Rumah Gadang
mereka.
Dalam prosesi
perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai beberapa
tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik
marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding
di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari
(menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan
secara Islam yang biasa
dilakukan di masjid, sebelum
kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di
depan penghulu atau tuan
kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti
nama kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru
tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi
(sayyidi) di kawasan pesisir pantai. Sementara itu di kawasan Luhak Limopuluah,
pemberian gelar ini tidak berlaku.
Masakan khas
Masyarakat
Minang juga dikenal akan aneka masakannya. Dengan citarasanya yang pedas,
membuat masakan ini populer di kalangan masyarakat Indonesia, sehingga
dapat ditemukan di hampir seluruh Nusantara. Di Malaysia dan Singapura, masakan
ini juga sangat digemari, begitu pula dengan negara-negara lainnya. Bahkan,
seni memasak yang dimiliki masyarakat Minang juga berkembang di kawasan-kawasan
lain seperti Riau, Jambi, dan Negeri Sembilan, Malaysia. Salah
satu masakan tradisional Minang yang terkenal adalah Rendang, yang
mendapat pengakuan dari seluruh dunia sebagai hidangan terlezat. Masakan
lainnya yang khas antara lain Asam
Pedas, Soto
Padang, Sate
Padang, dan Dendeng
Balado. Masakan ini umumnya dimakan langsung dengan tangan.
Masakan Minang
mengandung bumbu rempah-rempah
yang kaya, seperti cabai, serai, lengkuas, kunyit, jahe, bawang putih, dan bawang merah.
Beberapa di antaranya diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang kuat,
sehingga tidak mengherankan jika ada masakan Minang yang dapat bertahan lama.
Pada hari-hari tertentu, masakan yang dihidangkan banyak yang berbahan utama daging, terutama daging sapi, daging kambing, dan daging
ayam.
Masakan ini
lebih dikenal dengan sebutan Masakan Padang,
begitu pula dengan restoran atau rumah makan yang khusus menyajikannya disebut Restoran Padang.
Padahal dalam masyarakat Minang itu sendiri, memiliki karakteristik berbeda
dalam pemilihan bahan dan proses memasak, bergantung kepada daerahnya
masing-masing.
Sosial
kemasyarakatan
Persukuan
Suku dalam
tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial,
sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku
dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu perempat, sehingga
jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat
dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang
mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang,
diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari
satu keturunan nenek moyang yang sama.
Selain sebagai
basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan
ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan
lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan
harta milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga. Harta pusaka tidak
dapat diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka
semacam dana jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari
kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa
musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.
Suku
terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang
(payung). Adapun unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik.
Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada sebuah Rumah Gadang secara
bersama-sama.
Nagari
Daerah
Minangkabau terdiri atas banyak nagari.
Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau.
Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah
nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda.
Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari
semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat
dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari
itu dihasilkan.
Faktor utama
yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau adalah terdapatnya kompetisi
yang konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan individu untuk mendapatkan status
dan prestise. Oleh karenanya setiap kepala kaum akan berlomba-lomba
meningkatkan prestise kaum-keluarganya dengan mencari kekayaan (berdagang) serta
menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling tinggi.
Dalam
pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah
yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi
Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu.
Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari
struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun,
kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari.
Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang
mendomisili kawasan tersebut.
Selanjutnya sebagai pusat administrasi nagari tersebut dibangunlah sebuah Balai
Adat sekaligus sebagai tempat pertemuan dalam mengambil keputusan bersama
para penghulu di nagari tersebut.
Penghulu
Penghulu atau biasa
yang digelari dengan datuk, merupakan
kepala kaum keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga untuk mengatur semua
permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang terpilih di antara
anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang
laki-laki yang pandai berbicara, bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki
posisi ini. Hal ini dikarenakan ia bertanggung jawab mengurusi semua harta
pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam masyarakat
nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam
rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum bernilai
sama.
Seiring dengan
bertambahnya anggota kaum, serta permasalahan dan konflik intern yang timbul,
maka kadang-kadang dalam sebuah keluarga posisi kepenghuluan ini dipecah
menjadi dua. Atau sebaliknya, anggota kaum yang semakin sedikit jumlahnya,
cenderung akan menggabungkan gelar kepenghuluannya kepada keluarga lainnya yang
sesuku.
Hal ini mengakibatkan berubah-ubahnya jumlah penghulu dalam suatu nagari.
Memiliki
penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat nagari, merupakan suatu prestise
dan harga diri. Sehingga setiap kaum akan berusaha sekuatnya memiliki penghulu
sendiri. Kaum-keluarga yang gelar kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan
berusaha membangkitkan kembali posisinya dengan mencari kekayaan untuk
"membeli" gelar penghulunya yang telah lama terbenam. Bertegak
penghulu memakan biaya cukup besar, sehingga tekanan untuk menegakkan penghulu
selalu muncul dari keluarga kaya.
Kerajaan
Dalam laporan De Stuers kepada pemerintah Hindia-Belanda,
dinyatakan bahwa di daerah pedalaman Minangkabau, tidak pernah ada suatu
kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Tetapi yang ada adalah nagari-nagari
kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno. Namun dari beberapa prasasti yang
ditemukan pada kawasan pedalaman Minangkabau, serta dari tambo yang ada pada
masyarakat setempat, etnis Minangkabau pernah berada dalam suatu sistem
kerajaan yang kuat dengan daerah kekuasaan meliputi pulau Sumatera dan bahkan
sampai Semenanjung Malaya. Beberapa kerajaaan yang ada di wilayah
Minangkabau antara lain Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, dan Kerajaan Inderapura.
Sistem kerajaan
ini masih dijumpai di Negeri
Sembilan, salah satu kawasan dengan komunitas masyarakat Minang yang
cukup signifikan. Pada awalnya masyarakat Minang di negeri ini menjemput
seorang putra Raja
Alam Minangkabau untuk menjadi raja mereka, sebagaimana tradisi
masyarakat Minang sebelumnya, seperti yang diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
Minangkabau
perantauan
Minangkabau
perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang hidup di luar kampung
halamannya.Bagi laki-laki Minang merantau erat kaitannya dengan pesan nenek
moyang “karatau madang di hulu babuah babungo balun” (anjuran merantau kepada
laki-laki karena di kampung belum berguna). Dalam kaitan ini harus dikembangkan
dan dipahami, apa yang terkandung dan dimaksud “satinggi-tinggi tabangnyo
bangau kembalinya ke kubangan juo”. Ungkapan ini ditujukan agar urang Minang
agar akan selalu ingat pada ranah asalnya. Merantau merupakan proses interaksi
masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah
petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung halaman untuk
mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki tradisi
merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di Indonesia
dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam mengembangkan tradisi merantau
biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu agama.
Para perantau
biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai pedagang
ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, merantau
merupakan sebuah cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan kesuksesan.
Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu pengetahuan yang didapat,
namun juga prestise dan kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat.
Dari pencarian
yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung
halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan
memperluas kepemilikan sawah, memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput
sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para perantau biasanya juga dipergunakan untuk
memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang
sawah.
Etos merantau
orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia.
Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mochtar Naim, pada
tahun 1961 terdapat sekitar 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera
Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44% Berdasarkan
sensus tahun 2010, etnis Minang
yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 4,2 juta jiwa, dengan perkiraan hampir
separuh orang Minang berada di perantauan. Mobilitas migrasi orang Minangkabau
dengan proporsi besar terjadi dalam rentang antara tahun 1958 sampai tahun
1978, dimana lebih 80% perantau yang tinggal di kawasan rantau telah
meninggalkan kampung halamannya setelah masa kolonial Belanda.
Namun tidak
terdapat angka pasti mengenai jumlah orang Minang di perantauan. Angka-angka
yang ditampilkan dalam perhitungan, biasanya hanya memasukkan para perantau
kelahiran Sumatera Barat. Namun belum mencakup keturunan-keturunan Minang yang
telah beberapa generasi menetap di perantauan.
Para perantau
Minang, hampir keseluruhannya berada di kota-kota besar Indonesia dan Malaysia.
Di beberapa perkotaan, jumlah mereka cukup signifikan dan bahkan menjadi pihak
mayoritas. Di Pekanbaru, perantau
Minang berjumlah 37,96% dari seluruh penduduk kota, dan menjadi etnis terbesar
di kota tersebut. Jumlah ini telah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan
tahun 1971 yang mencapai 65%.
Gelombang
rantau
Merantau pada etnis
Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat migrasi pertama
terjadi pada abad ke-7, di mana banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari
pedalaman Minangkabau melakukan perdagangan di muara Jambi, dan terlibat
dalam pembentukan Kerajaan
Malayu. Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak
keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera. Mereka mendirikan
koloni-koloni dagang di Batubara, Pelalawan, hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri Sembilan, Malaysia. Bersamaan
dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan masyarakat
Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang
banyak bermukim di Meulaboh,
Aceh tempat keturunan Minang dikenal
dengan sebutan Aneuk
Jamee; Barus, Sibolga, Natal, Bengkulu,
hingga Lampung. Setelah Kesultanan Malaka
jatuh ke tangan Portugis pada tahun
1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan.
Mereka menjadi pendukung kerajaan
Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta
bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di
Sulawesi. Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika
Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak.
Pada masa
penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran kembali terjadi pada tahun
1920, ketika perkebunan tembakau
di Deli Serdang, Sumatera Timur
mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang perantauan banyak mendiami kota-kota besar
di Jawa, pada tahun
1961 jumlah perantau Minang terutama di kota Jakarta meningkat 18,7 kali
dibandingkan dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya 3,7 kali, dan
pada tahun 1971 etnis ini diperkirakan telah berjumlah sekitar 10% dari jumlah
penduduk Jakarta waktu itu. Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh
dunia.
Perantauan
intelektual
Pada akhir abad
ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam, di
antaranya Haji Miskin, Haji
Piobang, dan Haji
Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi penyokong kuat
gerakan Paderi dan
menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di seluruh Minangkabau dan Mandailing.
Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang
dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Selain ke Timur
Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi,
dan Mohammad Amir.
Intelektual lain, Tan
Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun
jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang
merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan
pendiri Republik Indonesia.
Sebab merantau
Faktor budaya
Ada banyak
penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem
kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang
oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Selain
itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang
tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya,
dan anak-anak.
Para perantau
yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman merantau
kepada anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat
berpengaruh di kalangan masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang
tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan selalu diperolok-olok oleh
teman-temannya. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk
merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena
alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan
melanjutkan pendidikan.
Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog
Belanda, dua
tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa
merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan
tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau. Semangat untuk
mengubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang
mengatakan Karatau madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang
dahulu, di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau karena di kampung
belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.
Faktor ekonomi
Penjelasan lain
adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya
alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama
tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam
yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk
memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain
itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan
pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi
merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah
rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang
dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi
sebagai pedagang kecil.
Selain itu,
perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh
kemampuan berdagang, terutama untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan
pedalaman Minangkabau, secara geologis
memiliki cadangan bahan baku terutama emas, tembaga, timah, seng, merkuri, dan besi, semua bahan tersebut telah mampu
diolah oleh mereka. Sehingga julukan suvarnadvipa (pulau emas) yang
muncul pada cerita legenda di India
sebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera karena hal ini.
Pedagang dari Arab pada abad
ke-9, telah melaporkan bahwa masyarakat di pulau Sumatera telah menggunakan
sejumlah emas dalam perdagangannya. Kemudian dilanjutkan pada abad ke-13
diketahui ada raja di Sumatera yang menggunakan mahkota dari emas. Tomé Pires sekitar
abad ke-16 menyebutkan, bahwa emas yang diperdagangangkan di Malaka, Panchur
(Barus), Tico (Tiku) dan Priaman (Pariaman), berasal dari kawasan pedalaman
Minangkabau. Disebutkan juga kawasan Indragiri pada sehiliran Batang Kuantan di
pesisir timur Sumatera, merupakan pusat pelabuhan dari raja Minangkabau.
Dalam prasasti
yang ditinggalkan oleh Adityawarman
disebut bahwa dia adalah penguasa bumi emas. Hal inilah menjadi salah satu
penyebab, mendorong Belanda
membangun pelabuhan di Padang[72] dan
sampai pada abad ke-17 Belanda masih menyebut yang menguasai emas kepada
raja Pagaruyung.[73] Kemudian
meminta Thomas Diaz untuk menyelidiki hal tersebut, dari laporannya dia
memasuki pedalaman Minangkabau dari pesisir timur Sumatera dan dia berhasil
menjumpai salah seorang raja Minangkabau waktu itu (Rajo Buo), dan raja itu
menyebutkan bahwa salah satu pekerjaan masyarakatnya adalah pendulang emas. Sementara
itu dari catatan para geologi Belanda, pada sehiliran Batanghari dijumpai
42 tempat bekas penambangan emas dengan kedalaman mencapai 60 m serta di Kerinci waktu itu,
mereka masih menjumpai para pendulang emas. Sampai abad ke-19, legenda akan
kandungan emas pedalaman Minangkabau, masih mendorong Raffles untuk
membuktikannya, sehingga dia tercatat sebagai orang Eropa pertama yang berhasil
mencapai Pagaruyung melalui pesisir barat Sumatera.
Faktor perang
Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang
diilustrasikan oleh de Stuers.
"Orang
Minang merupakan masyarakat yang gelisah, dengan tradisi pemberontakan dan
perlawanan yang panjang. Selalu merasa bangga dengan perlawanan mereka terhadap
kekuatan luar, baik dari Jawa maupun Eropa".
— Pendapat dari
Audrey R. Kahin.
Beberapa
peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau terutama
dari daerah konflik, setelah Perang
Padri, muncul pemberontakan di Batipuh menentang tanam
paksa Belanda, disusul pemberontakan Siti Manggopoh
dalam Perang
Belasting menentang belasting dan pemberontakan komunis tahun
1926–1927. Setelah kemerdekaan muncul PRRI yang juga menyebabkan timbulnya
eksodus besar-besaran masyarakat Minangkabau ke daerah lain. Dari beberapa
perlawanan dan peperangan ini, memperlihatkan karakter masyarakat Minang yang
tidak menyukai penindasan. Mereka akan melakukan perlawanan dengan kekuatan
fisik, namun jika tidak mampu mereka lebih memilih pergi meninggalkan kampung
halaman (merantau). Orang Sakai
berdasarkan cerita turun temurun dari para tetuanya menyebutkan bahwa mereka
berasal dari Pagaruyung. Orang
Kubu menyebut bahwa orang dari Pagaruyung adalah saudara mereka.
Kemungkinan masyarakat terasing ini termasuk masyarakat Minang yang melakukan
resistansi dengan meninggalkan kampung halaman mereka karena tidak mau menerima
perubahan yang terjadi di negeri mereka. De Stuers sebelumnya juga melaporkan bahwa
masyarakat Padangsche Bovenlanden sangat berbeda dengan masyarakat di
Jawa, di Pagaruyung ia menyaksikan masyarakat setempat begitu percaya diri dan
tidak minder dengan orang Eropa. Ia merasakan sendiri, penduduk lokal lalu
lalang begitu saja dihadapannya tanpa ia mendapatkan perlakuan istimewa, malah
ada penduduk lokal meminta rokoknya, serta meminta ia menyulutkan api untuk
rokok tersebut.
Merantau dalam
sastra
Fenomena
merantau dalam masyarakat Minangkabau, ternyata sering menjadi sumber inspirasi
bagi para pekerja seni, terutama sastrawan. Hamka, dalam novelnya Merantau ke Deli,
bercerita tentang pengalaman hidup perantau Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan perempuan Jawa.
Novelnya yang lain Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga
bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang kampung. Di kampung,
ia menghadapi kendala oleh masyarakat adat Minang yang merupakan induk bakonya
sendiri. Selain novel karya Hamka, novel karya Marah Rusli, Sitti Nurbaya
dan Salah Asuhannya
Abdul Muis juga
menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel tersebut, dikisahkan
mengenai persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat budaya Barat. Novel Negeri 5 Menara
karya Ahmad Fuadi,
mengisahkan perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya menjadi
orang yang berhasil. Dalam bentuk yang berbeda, lewat karyanya yang berjudul Kemarau,
A.A Navis mengajak
masyarakat Minang untuk membangun kampung halamannya yang banyak di tinggal
pergi merantau.
Novel yang bercerita
tentang perantau Minang tersebut, biasanya berisi kritik sosial dari penulis
kepada adat budaya Minang yang kolot dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel,
kisah perantau Minang juga dikisahkan dalam film Merantau karya
sutradara Inggris, Gareth Evans.
Orang
Minangkabau dan kiprahnya
Orang Minang
terkenal sebagai kelompok yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka menyebar
di seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi dan
keahlian, antara lain sebagai politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan
pedagang. Berdasarkan jumlah populasi yang relatif kecil (2,7%
dari penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses
dengan banyak pencapaian. Majalah
Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh
penting Indonesia di abad ke-20 merupakan orang Minang. 3 dari
4 orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau.
Keberhasilan
dan kesuksesan orang Minang banyak diraih ketika berada di perantauan. Sejak
dulu mereka telah pergi merantau ke berbagai daerah di Jawa, Sulawesi, semenanjung Malaysia,
Thailand, Brunei, hingga Philipina. Pada
tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan Sulu di
Filipina selatan. Pada abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke Negeri Sembilan,
Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari kalangan mereka.
Di akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, beberapa ulama Minangkabau seperti Tuan Tunggang Parangan, Dato ri Bandang, Dato ri Patimang, Dato ri Tiro, dan Dato Karama,
menyebarkan Islam di Kalimantan,
Sulawesi, dan Kepulauan Nusa Tenggara.
Kedatangan
reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Mekkah memengaruhi sistem pendidikan di
Minangkabau. Sekolah Islam modern Sumatera Thawalib
dan Diniyah Putri,
banyak melahirkan aktivis yang berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain A.R Sutan Mansur, Siradjuddin Abbas,
dan Djamaluddin Tamin.
Pada periode
1920–1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir dari ranah Minangkabau.
Menjadi salah satu motor perjuangan kemerdekaan Asia, pada tahun 1923 Tan Malaka terpilih
menjadi wakil Komunis Internasional untuk wilayah Asia Tenggara. Politisi
Minang lainnya Muhammad
Yamin, menjadi pelopor Sumpah Pemuda yang
mempersatukan seluruh rakyat Hindia-Belanda. Di
dalam Volksraad, politisi
asal Minang-lah yang paling vokal. Mereka antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim, dan
Abdul Muis. Tokoh Minang lainnya Mohammad Hatta,
menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, empat orang
Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir,
Mohammad Hatta, Abdul
Halim, Muhammad
Natsir), seorang sebagai presiden (Assaat), seorang sebagai wakil presiden
(Mohammad Hatta), seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan
puluhan yang menjadi menteri, di antara yang cukup terkenal ialah Azwar Anas, Fahmi Idris, dan Emil Salim. Emil
bahkan menjadi orang Indonesia terlama yang duduk di kementerian RI.
Minangkabau, salah satu dari dua etnis selain etnis Jawa, yang selalu
memiliki wakil dalam setiap kabinet pemerintahan Indonesia. Selain di
pemerintahan, pada masa Demokrasi liberal parlemen Indonesia didominasi oleh politisi
Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai dan ideologi, islamis,
nasionalis, komunis, dan sosialis.
Selain menjabat
gubernur provinsi Sumatera Tengah dan Sumatera Barat, orang Minangkabau juga
duduk sebagai gubernur provinsi lain di Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat), Daan Jahja (Jakarta), Muhammad
Djosan dan Muhammad Padang (Maluku),
Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang dan Moenafri (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani, Mohammad Isa, dan Rosihan Arsyad (Sumatera Selatan),
Eny Karim (Sumatera
Utara), serta Djamin Datuk Bagindo (Jambi). Beberapa partai politik Indonesia
didirikan oleh politisi Minang. PARI dan Murba didirikan
oleh Tan Malaka, Partai Sosialis Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh
Mohammad Hatta, Masyumi oleh
Mohammad Natsir, Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli, dan Permi oleh Rasuna Said. Selain
mendirikan partai politik, politisi Minang juga banyak menghasilkan buku-buku
yang menjadi bacaan wajib para aktivis pergerakan.
Penulis Minang
banyak memengaruhi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Mereka mengembangkan bahasa melalui berbagai macam karya tulis dan keahlian. Marah Rusli, Abdul Muis, Idrus, Hamka, dan A.A Navis berkarya
melalui penulisan novel. Nur Sutan Iskandar novelis Minang lainnya, tercatat sebagai
penulis novel Indonesia yang paling produktif. Chairil Anwar dan Taufik Ismail
berkarya lewat penulisan puisi. Serta Sutan Takdir Alisjahbana dan Sutan Muhammad Zain, dua ahli tata bahasa yang melakukan
modernisasi bahasa Indonesia sehingga bisa menjadi bahasa persatuan nasional.
Novel-novel karya sastrawan Minang seperti Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Layar Terkembang,
dan Robohnya Surau Kami telah menjadi bahan bacaan wajib bagi
siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.
Selain melalui
karya sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula dilakukan oleh jurnalis
Minang. Mereka antara lain Djamaluddin
Adinegoro, Rosihan
Anwar, dan Ani
Idrus. Selain Abdul
Rivai yang dijuluki sebagai Perintis Pers Indonesia, Rohana Kudus yang
menerbitakan Sunting Melayu, menjadi wartawan sekaligus pemilik koran
wanita pertama di Indonesia.
Di samping
menjadi politisi dan penulis, kiprah Orang Minang juga cukup menonjol di bidang
intelektualisme. Kebiasaan mereka yang suka berpikir dan menelaah, telah
melahirkan beberapa pakar di dunia kedokteran, humaniora, hukum, dan ekonomi,
yang kesemuanya memberikan sumbangan besar terhadap bangsa Indonesia. Di antara
mereka yang cukup dikenal adalah Ahmad Syafii Maarif, Hazairin, Syahrir,
Taufik Abdullah,
dan Azrul Azwar.
Di Indonesia
dan Malaysia, selain orang Tionghoa,
orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang
sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan, perhotelan,
pendidikan, keuangan, dan kesehatan. Di antara figur pengusaha sukses adalah, Abdul Latief
(pemilik ALatief Corporation), Basrizal Koto
(pemilik peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara), Hasyim Ning
(pengusaha perakitan mobil pertama di Indonesia), dan Tunku Tan Sri Abdullah (pemilik Melewar Corporation
Malaysia).
Banyak pula
orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai sutradara, produser,
penyanyi, maupun artis. Sebagai sutradara dan produser ada Usmar Ismail, Asrul Sani, Djamaludin Malik,
dan Arizal. Arizal
bahkan menjadi sutradara dan produser film yang paling banyak menghasilkan
karya. Sekurang-kurangnya 52 film dan 8 sinetron dalam 1.196 episode telah
dihasilkannya. Pemeran dan penyanyi Minang yang terkenal beberapa di antaranya
adalah Afgan
Syah Reza, Dorce
Gamalama, Marshanda,
Eva Arnaz, dan Nirina Zubir.
Pekerja seni lainnya, ratu kuis Ani Sumadi, menjadi
pelopor dunia perkuisan di Indonesia. Selain mereka, Soekarno M. Noer
beserta putranya Rano
Karno, mungkin menjadi pekerja hiburan paling sukses di Indonesia,
baik sebagai aktor maupun sutradara film. Pada tahun 1993, Karno's Film
perusahaan film milik keluarga Soekarno, memproduksi film seri dengan peringkat
tertinggi sepanjang sejarah perfilman Indonesia, Si Doel Anak Sekolahan.
Di Malaysia dan
Singapura, kontribusi orang Minangkabau juga cukup besar. Pada tahun 1723, Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I, duduk sebagai
sultan Johor
sebelum akhirnya mendirikan Kerajaan
Siak di daratan Riau. Di awal abad ke-18, Nakhoda Bayan, Nakhoda
Intan, dan Nakhoda Kecil meneruka Pulau Pinang. Tahun
1773, Raja Melewar diutus
Pagaruyung untuk memimpin rantau Negeri Sembilan. Ia
juga menyebarkan Adat Perpatih dan Adat Tumenggung, yang sampai saat ini masih berlaku di
Semenanjung Malaya. Menjelang masa kemerdekaan beberapa politisi Minang
mendirikan partai politik. Di antaranya adalah Ahmad Boestamam
yang mendirikan Parti Rakyat Malaysia dan Rashid Maidin yang
mengikrarkan Parti Komunis Malaya. Setelah kemerdekaan Tuanku Abdul Rahman menjadi Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia, sedangkan Rais Yatim, Amirsham Abdul Aziz, dan Abdul Samad Idris,
duduk di kursi kabinet. Beberapa nama lainnya yang cukup berjasa adalah Sheikh Muszaphar Shukor (astronot pertama Malaysia), Muhammad Saleh Al-Minangkabawi (kadi besar Kerajaan Perak), Tahir Jalaluddin Al-Azhari (ulama terkemuka), Adnan bin Saidi
(pejuang kemerdekaan Malaysia), dan Abdul Rahim Kajai
(perintis pers Malaysia). Di Singapura, Mohammad Eunos Abdullah dan Abdul Rahim Ishak
muncul sebagai politisi Singapura terkemuka, Yusof bin Ishak
menjadi presiden pertama Singapura, dan Zubir Said
menciptakan lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura.
Beberapa tokoh
Minang juga memiliki reputasi internasional. Di antaranya, Roestam Effendi
yang mewakili Partai Komunis Belanda, dan menjadi orang Hindia pertama yang
duduk sebagai anggota parlemen Belanda. Di Arab Saudi, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, menjadi
satu-satunya orang non-Arab
yang pernah menjabat imam besar Masjidil Haram, Mekkah. Mohammad Natsir, salah seorang
tokoh Islam terkemuka, pernah menduduki posisi presiden Liga Muslim se-Dunia (World
Moslem Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia. Sementara itu Azyumardi Azra,
menjadi orang pertama di luar warga negara Persemakmuran yang mendapat gelar Sir dari Kerajaan Inggris
Sumber; Wikiepedia
SUMBER ; WIKIEPEDIA
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusDari tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang suku Minangkabau berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak. Namun demikian kisah tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk meminta Sang Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut untuk menjadi raja mereka.
BalasHapus